Jumat, 18 Maret 2011

Kasih Sayang Tulus seorang Ibu

Ummi yaa lahnan a’syaqohu wanasyidan dauman ansyuduhu
Fikulli makanin adzkuruhu wa-azhollu azhollu uroddiduhu
Ummi yaa ruuhi wa-hayati yaa bahjata nafsi wamunaati
Unsi filhadhiri wal-ati...
Allohu ta'aala aushoni fissirri walau fil i'laani
Bilbirri laki wal-ihsaani...
Ismuki manquusyun fi qolbi Hubbuki yahdini fi darbi
wadu'a-i yahfazhuki robbiy..

Tepat pukul 21.14 di ruangan 2,25mx2,25m ini aku menitikan air mata karena kerinduanku pada sosok yang sangat berarti bagiku. Beliau adalah orang yang banyak berkorban untukku dan keluargaku. “IBUUUKK aku kangen banget”, jerit dari palung hatiku. Tapi, aku tak mungkin menelpon atau mengirim sms malam-malam begini. Aku takut mengganggu istirahatmu, Bu. Aku takut membuatmu khawatir. Apalagi jika engkau mendengar isak tangisku karena merindukanmu.

Ibuk, maaf aku sering lalai dalam menjalankan amanahku di perguruan tinggi ini, padahal engkau hanya ingin melihatku menjadi seorang SARJANA. Hanya sebuah kata yang berarti, SARJANA. Aku telah banyak menyia nyiakan waktu untuk hal yang tidak bermanfaat, Bu. Bahkan hari ini seharusnya aku berangkat kursus, tapi karena alasan kesehatan aku tidak berangkat. Padahal dari awal pembayaran aku hanya sempat berangkat sekali, entah itu karena alasan rapat, sakit, bahkan malas, aku tidak menunaikan janjiku padamu. Aku ingat dulu kettika meminta uang pembayaran kursus, dengan sangat ngotot aku minta agar engkau segera mengirimkan uang dengan jumlah yang begitu bernilai. Aku tak tahu engkau mengusahakan darimana uang itu, apakah uang sendiri atau meminjam pada tetangga untuk memenuhi keinginanku.

Kemarin, kurang lebih tiga minggu aku sakit. Sakit karena kesalahanku sendiri yang tidak mengatur pola makan di tengah kesibukan yang ada. Serangan Salmonella thyposa kualami selama 2 minggu. Sudah cukup banyak kuhabiskan uang dari rumah. Tetapi, setelah sembuh aku kembali telat makan dan sibuk lagi dengan agenda – agendaku. Kemudian sakit lagi selama 1 minggu dan kembali merogoh kocekmu. Ibu, aku minta maaf sebesar – besarnya padamu. Aku telah banyak merepotkanmu tanpa pernah memberimu kebahagiaan. Hingga saat teman – temanku telah sukses dan berprestasi aku belum bisa memberikan sesuatu yang bisa membuatmu tersenyum.

Sekilas teringat di kala engkau membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan kami. Engkau korbankan waktu yang seharusnya bisa kau gunakan untuk merilekskan diri atau sekedar meluruskan punggung karena begitu banyaknya tugas rumah yang kau kerjakan setiap harinya. Tapi, kau tetap berjuang untuk membantu Bapak bekerja. Maaf ya Bu, aku harus membiarkanmu seperti ini. Di umurku yang sudah 19 tahun, aku belum mampu membuatmu duduk manis di rumah, padahal kau telah mengandungku selama 9 bulan, membesarkanku hingga kini. Hingga aku berumur 19 tahun kau masih sering menasihatiku. Betapa aku ini masih seperti anak kecil.

Kasih sayangmu selalu ada untukku. Tapi, kadang aku tidak mempedulikanmu di kala sedang asyik dengan teman-teman. Kadang jika di suatu percakapan, engkau tidak mengerti dengan maksud pembicaraanku, aku membentakmu, Bu. Di saat itu aku hanya merasa tak bersalah tanpa dosa, tapi mungkin engkau merasakan sakit yang begitu dalam. Betapa aku ini tidak tahu balas budi. Maafkan aku Bu. Aku pun teringat ketika engkau membangunkanku di pagi hari untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumah. Tapi, dengan santainya aku menjawab “nanti” dan akhirnya engkau pun menyelesaikannya sendiri. Betapa tidak tahu malunya aku padamu, Bu. Aku yang masih muda dan gigih membiarkanmu melakukan itu.

Ketika aku kembali untuk menuntut ilmu di kota ini, engkau selalu berpesan untuk rajin belajar, selalu mendoakanku agar aku mendapat peringkat pertama seperti yang selalu kuraih dulu. Tapi, setelah di sini aku mulai lalai lagi dan tak mengindahkan pesanmu itu, Bu. Aku jarang belajar dengan alasan sibuk dan sebagainya. Aku mengambinghitamkan kegiatan a b c d dan selalu mencaripembelaan di kala nilaiku tak seperti yang kauharapkan.memang benar, engkau tak pernah marah, tetapi ini adalah sosok negatifku Bu. Jika dilihat berdasarkan prosesnya, aku memang tak segigih dulu, tak setekun dulu dalam berikhtiar dan berusaha. Maafkan aku, Bu. Aku janji akan memperbaiki diriku. Aku sayang Ibu.

**********************************************************************************

Teringat percakapan siang tadi dengan bibi yang biasanya membersihkan kosan. Tadi siang sudah jam 10.00, tapi bibi masih nyetrika di kosan. Aku pun memulai pembicaraan,
“ Bi, kok belum pulang udah siang gini?”
“ Iya, Neng. Setrikaannya banyak. Mana ni gasnya habis, padahal tadi Bibi mau manasin nasi sama buat susu”
“Oh iya, Bi? Bibi belum makan? Bukannya biasanya bawa dari rumah, Bi?”
“Tadi kesiangan dan ga sempet Neng”
“Ini saya punya roti, Bi”
Upppsss ternyata rotinya sudah kadaluwarsa kemaren. Si Bibi mau makan tapi akhirnya aku melarangnya. Dan aku teringat,
“Bi, saya punya donat . Tadi pagi beli pas mau kuliah”
Aku berikan donat itu pada Bibi sekaligus aku beri sebotol susu kecil.
Bibi langsung makan dengan lahap
“Alhamdulillah, makasih ya Neng”
“Ini tadi saya beli nasi, Bi. Kita bagi dua aja ya Bi”
Aku harus makan nasi karena masih sakit. Jadi aku bagi dua. Awalnya bibi menolak, tapi akhirnya kami makan sama-sama.

Sambil makan, banyak hal yang kami bicarakan. Semuanya tentang keluarga bibi. Beliau menderita maag kronis dan kalau lapar sedikit tidak segera makan, perutnya perih. Beliau mengaku bekerja membanting tulang untuk anaknya yang sekarang duduk di kelas 3 SMP dan akan melanjutkan ke SMA. Dan sedihnya, ternyata suami beliau sudah meninggal. Beliau cerita sudah pernah meminta bantuan keringanan ke sekolah, tapi ditolak. Suaminya dulu bekerja mengayuh becak di sekitar kampus, tetapi karena usia akhirnya beliau meninggal. Anaknya yang pertama sudah menikah, tetapi ia berperangai keras dan sangat tempramen, sampai – sampai kaca rumah bibi pernah dibanting. Sekarang ia sudah tidak pernah ngomong dengan anak pertamanya itu. Anaknya yang kedua belum menikah dan masih tingggal bersamanya. Anaknya yang ketiga sudah menikah dan yang keempat adalah yang duduk di bangku kelas 3 SMP.

Dari cerita bibi, aku merasa begitu iba. Ternyata seperti itulah perjuangan seorang ibu. Aku yakin, bibi tidak akan pernah menceritakan keluh kesahnya itu pada anak – anaknya karena rasa sayangnya. Mungkin seperti itu pula ibuku. Bahkan di akhir percakapan bibi bilang, “kalau punya makanan dan gag dimakan, jangan dibiarkan menjamur dan dibuang ya Neng, buat Bibi aja”. Terakhir aku ingat membuang 8 lembar roti tawar di tempat sampah depan kamar karena sudah berjamur. Astaghfirullah. Ternyata di sekitarku banyak orang yang membutuhkan. Maafkan aku ya ALLAH.

***********************************************************************************

Malam ini, harusnya aku pergi ke suatu tempat yang sudah direncanakan sejak lama selama empat hari. Tetapi, walaupun hati berkehendak, ALLAH punya keinginan lain. Aku dapat mengambil hikmah di hari ini. Sesuatu yang indah. Sesuatu yang tidak akan pernah terganti dengan apapun. Ketulusan seorang Ibu dalam menyayangi. Aku sayang Ibu^^

Bogor, 18 Maret 2011
Red Zone^^

3 komentar:

  1. hmmm
    rekor nih mi aku baca tentang yang beginian tanpa meneteskan air. hehe
    ijin repost d blog aku ya.. :)
    cepet sembuh adekku..
    butuh atau nggak butuh pertolongan, kasih tau kami ya.. cz kemungkinan kami g bakal tau kalo g ada info dari kalian semua, teman2ku..
    istirahat, g usah nyesel g bisa ikut subi dan elva k pwkt, insyaAllah semua ada hikmahnya.. :)

    BalasHapus
  2. oke kak,,,
    kakak lihat balesannya di email aja
    hahaha

    BalasHapus
  3. sebagian ceritanya syarah udah tau mb umii.. kan mb umii sering cerita..
    nah kan, jangan buang2 makanan mb umi, semalem aja nasi g abis lagi..

    BalasHapus